Masa Tenang

 Masa Tenang

coblosan.com




Saep Lukman, Penulis

#INFOCJR – Masa tenang dalam Pilkada atau Pemilu sejatinya adalah jeda yang tidak hanya hadir sebagai ruang waktu, tetapi juga harus sebagai panggilan batin. Bahwa memilih pemimpin bukan sekadar hak politik, melainkan juga tanggung jawab moral dan spiritual. Hiruk-pikuk kampanye telah reda, kini kita diajak merenung: pemimpin seperti apakah yang akan kita percayakan untuk memikul amanah kedepan?

Sejarah telah mencatat bahwa kepemimpinan adalah peran yang sarat makna. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58)

Ayat ini menyiratkan bahwa memilih pemimpin bukan sekadar urusan duniawi, tetapi kewajiban agama. Pemimpin adalah pelaksana amanah, seorang pengadil yang menjunjung keadilan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa seorang pemimpin adalah penjaga umat. Jika pemimpin itu baik, rakyat akan baik; jika pemimpin itu lalai, rakyat akan ikut lunglai.

Dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seorang imam (pemimpin) adalah perisai, yang di belakangnya umat berjuang dan berlindung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa pemimpin bukanlah simbol kekuasaan, melainkan pelindung dan pelayan umat. Pemimpin yang ideal adalah ia yang mampu menegakkan keadilan seperti Umar bin Khattab, yang bahkan takut mempertanggungjawabkan seekor kambing yang mati di tepi sungai Eufrat karena kelalaiannya.

Di sisi lain, dalam konteks modern, filsuf dan pemikir Fritjof Capra menyoroti pentingnya “pemikiran sistemik” dalam kepemimpinan. Dalam bukunya The Systems View of Life, Capra menyatakan bahwa seorang pemimpin harus melihat dunia sebagai jaringan yang saling terhubung. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu memahami kompleksitas masyarakatnya dan mengambil keputusan yang tidak hanya bermanfaat secara langsung tetapi juga berkelanjutan.

Masa tenang adalah ruang bagi kita untuk menghadirkan kembali prinsip moral dalam politik. Mengutip pemikiran John Rawls, seorang filsuf politik terkemuka, keadilan sosial hanya dapat tercapai jika individu mengambil keputusan dari “tirai ketidaktahuan” (veil of ignorance). Dalam konteks memilih pemimpin, ini berarti kita harus mengesampingkan kepentingan pribadi dan memilih berdasarkan manfaat bagi masyarakat luas.

Fritjof Capra menambahkan dimensi yang mendalam pada refleksi ini dengan mengatakan bahwa keputusan yang diambil harus mempertimbangkan “interaksi ekologis dan sosial” sebagai satu kesatuan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, memilih pemimpin bukan hanya tentang hari ini tetapi juga tentang generasi mendatang yang akan merasakan dampaknya.

Pesan Moral

Di tengah masa tenang ini, pesan moral agama bergaung, mengingatkan kita bahwa pemimpin yang kita pilih akan menjadi cerminan nilai-nilai kita sebagai bangsa. Jika kita memilih berdasarkan uang atau janji kosong, maka kita mengkhianati amanah yang telah diberikan oleh Tuhan dan rakyat.

Mahatma Gandhi pernah berkata, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.” Pemimpin yang kita pilih haruslah seseorang yang memiliki semangat melayani, bukan dilayani.

Sebagai penutup, mari kita renungkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Nu’aim)

Masa tenang Pilkada bukan hanya waktu untuk diam, tetapi waktu untuk mendengar. Dengarkan hati nurani, dengarkan suara rakyat, dan dengarkan panggilan Tuhan. Karena di balik setiap pilihan, ada pertanggungjawaban yang akan kita pikul, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga masa tenang ini menjadi momentum untuk memilih dengan bijak, memilih dengan hati, dan memilih dengan iman.***

 

Penulis: Saep Lukman, Pimpinan Umum INFOCIANJUR. Tulisan ini juga sempat dimuat di sejumlah media lainnya di tanah air.




infocianjur

http://infocianjur.dev

dari Cianjur untuk Indonesia