Dominasi Kungfu, Silat Harus Menemukan Jati Dirinya!
Cina, dengan strategi politik komunis dan ekonomi kapitalisnya, telah mencetak sejarah sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Negara ini, yang pernah terisolasi, kini menjadi “pabrik dunia” dengan kecepatan transformasi yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, reformasi ekonomi yang mengusung “Sosialisme dengan Ciri Khas Cina” membuka jalan bagi kapitalisme terkontrol, menjadikan sektor manufaktur, ekspor, teknologi, dan pertanian sebagai pilar utama.
Sebagai pemain utama di panggung global, Cina mendominasi berbagai sektor, termasuk di Indonesia. Barang-barang seperti elektronik, perabot rumah tangga, hingga produk konsumsi Cina telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Tak hanya itu, investasi Cina dalam proyek infrastruktur di Indonesia—mulai dari jalan hingga pembangkit listrik—memberikan dampak besar pada pembangunan nasional.
Namun, di balik keberhasilan ini, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Dominasi Cina dapat menyebabkan ketergantungan ekonomi yang berisiko bagi stabilitas nasional. Produk-produk murah dari Cina mengancam kelangsungan usaha kecil dan menengah Indonesia, sementara proyek-proyek besar yang didanai Cina seringkali mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan. Fenomena ini menciptakan monopoli yang menekan daya saing lokal, memperbesar kesenjangan sosial, dan memperkuat ketimpangan ekonomi.
Mencari Solusi: Silat Melawan Kungfu
Indonesia harus belajar dari strategi “Kungfu” Cina. Filosofi kungfu, yang mengedepankan kesabaran, ketekunan, dan strategi yang terukur, seharusnya menjadi inspirasi bagi “silat” kita—identitas ekonomi, budaya, dan politik Indonesia. Silat, dengan akar yang dalam pada budaya gotong royong, keberagaman, dan semangat kemandirian, harus menemukan kembali jati dirinya untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Sebagai negara dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam yang melimpah. Keberagaman ini adalah potensi luar biasa yang harus dikelola dengan bijak untuk membangun kekuatan ekonomi yang inklusif. Dengan Pancasila sebagai dasar negara, nilai-nilai persatuan, keadilan, dan keberlanjutan dapat menjadi fondasi dalam melawan monopoli dan dominasi asing.
Indonesia tidak bisa hanya menjadi pasar bagi produk dan investasi asing. Pemerintah harus mengedepankan kebijakan yang melindungi industri lokal dan memperkuat daya saing nasional. Transfer teknologi dari kerja sama internasional harus dimanfaatkan untuk membangun kapasitas domestik, bukan untuk memperpanjang ketergantungan. Media, sebagai pilar demokrasi, juga harus memainkan peran penting dalam mengedukasi masyarakat dan mengawasi kebijakan pemerintah.
Kembali ke Jati Diri
Seperti pepatah lama, “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina,” kita memang harus belajar dari strategi sukses Cina. Namun, belajar tidak berarti menyerah pada dominasi. Indonesia harus mampu memadukan strategi global dengan kearifan lokalnya. Silat, sebagai simbol budaya dan identitas bangsa, harus kembali menjadi representasi dari kekuatan Indonesia—bukan hanya dalam seni bela diri, tetapi juga dalam ekonomi, politik, dan budaya.
Di tengah arus globalisasi yang tak terelakkan, Indonesia memiliki semua potensi untuk bersaing. Namun, potensi ini hanya dapat diwujudkan jika kita mampu mengenali, menghargai, dan memperkuat jati diri bangsa. Dengan begitu, kita tidak hanya akan berdiri sejajar dengan kekuatan global lainnya, tetapi juga memastikan bahwa masa depan Indonesia tetap berada di tangan rakyatnya sendiri.
Penulis : Mohamad Lili Ghozali, mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Suryakancana