Menyongsong Era Baru Transformasi Digital

 Menyongsong Era Baru Transformasi Digital



oleh : Saep Lukman*)

Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri media, seperti yang terjadi di ANTV dan NET TV baru-baru ini (Metro Daily, Jawa Pos, Sabtu 21 Desember 2024), mencerminkan dinamika kompleks yang tengah melanda sektor ini dalam sepuluh tahun terakhir. Transformasi digital menjadi katalis utama perubahan ini, memaksa sejumlah perusahaan media untuk menyeimbangkan kebutuhan efisiensi operasional dengan tanggung jawab sosial terhadap karyawan. Situasi ini menjadi cermin tantangan global yang dihadapi oleh media tradisional di tengah derasnya arus digitalisasi.

Saep Lukman

Transformasi digital telah membawa perubahan mendasar dalam cara konten media dikonsumsi. Penonton kini lebih memilih platform daring seperti Instagram, YouTube, Netflix, dan TikTok yang menawarkan fleksibilitas dan personalisasi. Menurut Dr. Robert Picard, pakar ekonomi media dari Reuters Institute, Oxford University, revolusi digital telah menggeser paradigma media. Media tradisional dipaksa harus mampu merangkul inovasi teknologi untuk tetap relevan. Namun, adaptasi ini membutuhkan investasi besar, baik dalam infrastruktur maupun pengembangan kompetensi sumber daya manusia.

Di Indonesia, dampak transformasi digital terlihat nyata. Perusahaan media menghadapi penurunan tajam dalam pendapatan iklan televisi. Penurunan ini diperparah oleh pandemi COVID-19, yang mempercepat peralihan ke konsumsi digital. Dampaknya, perusahaan seperti ANTV dan NET TV memilih langkah PHK sebagai upaya terakhir untuk menjaga keberlanjutan bisnis mereka.

Sementara itu, efisiensi operasional sering menjadi alasan utama dibalik keputusan PHK massal. Perusahaan berupaya merampingkan struktur organisasi agar lebih adaptif terhadap perubahan pasar. Menurut Prof. Eli Noam dari Columbia University, “Efisiensi operasional adalah langkah strategis yang diperlukan, tetapi perusahaan harus memastikan bahwa keputusan ini tidak merugikan reputasi mereka di mata publik.” Namun, langkah ini sering membawa dampak sosial yang signifikan. Karyawan yang terkena PHK menghadapi ketidakpastian ekonomi dan psikologis, terutama di tengah pasar tenaga kerja yang kompetitif. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis: apakah efisiensi operasional dapat mengorbankan kesejahteraan tenaga kerja? Dr. Philip Napoli dari Duke University berpendapat bahwa “perusahaan harus menyeimbangkan efisiensi dengan tanggung jawab sosial. Tanpa pendekatan ini, mereka berisiko kehilangan kepercayaan audiens dan pekerja mereka.”

Perlindungan Hak Karyawan

Di banyak negara, undang-undang ketenagakerjaan telah dirancang untuk melindungi hak karyawan yang terkena PHK. Di Indonesia, UU Cipta Kerja mengatur kewajiban perusahaan untuk memberikan pesangon sesuai masa kerja karyawan. Dr. Karin Wahl-Jorgensen, peneliti komunikasi dari Cardiff University, menyatakan, hak pekerja adalah bagian integral dari keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang. Namun, implementasi aturan ini sering kali menghadapi tantangan. Banyak perusahaan yang tidak sepenuhnya mematuhi peraturan, baik karena alasan keuangan maupun ketidaktahuan. Oleh karena itu, pengawasan dari pemerintah dan serikat pekerja menjadi sangat penting untuk memastikan perlindungan hak-hak pekerja.

Selanjutnya, adaptasi terhadap era digital tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab perusahaan media. Pemerintah, akademisi, dan organisasi non-pemerintah juga perlu terlibat dalam menciptakan ekosistem yang mendukung transformasi digital yang inklusif. Menurut Dr. Jean Seaton, direktur Media History di University of Westminster, kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan adalah kunci untuk memastikan bahwa transformasi digital tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga pekerja dan masyarakat luas.

Salah satu contoh kolaborasi yang berhasil adalah program pelatihan ulang (reskilling) yang difasilitasi oleh pemerintah Jerman untuk membantu pekerja media yang terkena dampak digitalisasi. Program ini tidak hanya meningkatkan keterampilan mereka, tetapi juga membuka peluang kerja baru di sektor digital.

Tantangan yang dihadapi industri media Indonesia bukanlah hal yang unik. Di banyak negara, media tradisional juga berjuang untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi dan preferensi audiens. Namun, tantangan ini juga membawa peluang. Dengan inovasi yang tepat, media tradisional dapat menciptakan model bisnis baru yang lebih berkelanjutan.

Media yang bertahan di masa depan adalah media yang mampu mengintegrasikan teknologi digital tanpa kehilangan esensi jurnalistiknya (Alan Rusbridger: 2020). Perusahaan media perlu berinvestasi dalam teknologi analitik untuk memahami audiens mereka dengan lebih baik, sambil tetap memegang teguh nilai-nilai jurnalistik seperti independensi dan akurasi.

Kesimpulan

Gelombang PHK massal di ANTV dan NET TV adalah pengingat akan tantangan besar yang dihadapi industri media di era digital. Transformasi yang cepat menuntut adaptasi yang tidak hanya fokus pada efisiensi, tetapi juga pada kesejahteraan sumber daya manusia. Dalam konteks ini, kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja menjadi kunci untuk menciptakan masa depan industri yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Dengan mengadopsi pendekatan yang holistik, industri media di Indonesia tetap memiliki peluang untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dan berkembang di era digital. Perubahan ini membutuhkan keberanian, inovasi, dan komitmen dari semua pihak yang terlibat. Sebab transformasi bukanlah akhir, tetapi awal dari babak baru dalam sejarah media.***

*) Saep Lukman, pendiri INFOCIANJUR, direktur Equivalent Media Tech




infocianjur

http://infocianjur.dev

dari Cianjur untuk Indonesia