Cinta, Kopi & Kekuasaan : Kesaksian Nyai Apun Gencay (1)

 Cinta, Kopi & Kekuasaan : Kesaksian Nyai Apun Gencay (1)

Cinta Kopi dan Kekuasaan oleh Saep Lukman




Aku hanyalah gadis biasa, gadis kampung. Lahir dari seorang ibu yang sesekali menjadi sinden kliningan. Abah Wirata ayahku tak pernah bertemu denganku sejak lahir. Kata Ambu Abah meninggal saat aku dalam kandungan. Entah apa penyebabnya, abah meninggal, Ambu tak pernah cerita soal itu.

Saep Lukman, Penulis ‘Cinta, Kopi dan Kekuasaan’

Hanya kata orang, Abah berkulit putih, tinggi dan enerjik. Adik Ambu, Bi Sami, menyebut Abah sangat tampan dan menjadi pujaan para perempuan di zamanya. Hanya Abah tak pernah tergoda dan mengoda perempuan lain hingga akhir hayatnya. Abah hanya punya satu isteri, yakni ibuku sendiri, yang biasa aku panggil Ambu. Tapi para tetangga menyebut Ambu sebagai Sinden Gencay. Nama Gencay mungkin dikaitkan dengan Ambuku karena pesona Ambu saat di atas panggung. Jika Ambu menari atau ‘nyinden’ pasti selalu membuat orang terkagum-kagum terbelalak. Ambu selalu yang dinantikan tampil saat hajatan berlangsung.

Suara Ambuku memang merdu, begitu juga dengan gaya tariannya. Jika Ambu lagi manggung banyak penonton yang terpikat. Kadang ada yang nakal , mencolek Ambu saat sedang kaulan. Aku sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu, selama dalam batas wajar aku tak pernah ambil pusing.

Aku, hanyalah anak semata wayang dari hasil perkawinan ibuku dengan Abah, dan aku selalu dipanggil Apun. Karena ada beberapa nama yang sama di kampungku maka orang-orang memanggil aku dengan menisbatkan pada nama panggilan panggung ibuku, Gencay. Sehingga namaku sering dipanggil Apun Gencay. (Bersambung)




infocianjur

http://infocianjur.dev

dari Cianjur untuk Indonesia