Media Sosial sebagai Tempat Belajar: Antara Mantra dan Realitas
Dalam angin yang berdesir membawa kabar tentang revolusi digital, media sosial kini menjelma lebih dari sekadar ruang hampa untuk sekedar saling sapa, puji, atau menghakimi. Ia ibarat pasar malam yang gemerlap, dipenuhi pekik tawa, tatapan tajam, dan mata yang rakus mencari cerita. Namun, jika ditilik dengan saksama, di balik topeng virtualnya, ia menyembunyikan peran baru yang tak kalah penting: media belajar yang berdenyut di antara piksel dan kata-kata.
Media, kata para pendidik, adalah jembatan. Dan jembatan tak hanya merentang agar manusia melintasinya dengan langkah berat. Jembatan, jika dibangun dengan bijak, adalah lorong di mana cahaya pengetahuan menyusup perlahan, menyeruak ke ruang-ruang yang dulu tak terjangkau. Di sinilah media sosial menemukan perannya, bukan hanya sebagai penghibur atau pameran diri, tetapi sebagai papan tulis besar yang menggantung di langit maya.
Bayangkan seorang guru, si pendongeng modern, yang mengubah setiap gulir cerita dalam layar ponsel menjadi skenario pembelajaran. Di kelas bahasa Indonesia, misalnya, drama tak lagi hanya sekadar naskah yang dingin dan mati di atas kertas. Dengan media sosial, drama itu hidup, berjingkat, mengeluarkan napasnya dalam video pendek, atau monolog penuh emosional yang diunggah di kanal daring. Di Instagram, tokoh-tokoh pun berbisik dalam caption, seakan mengingatkan bahwa kata-kata memiliki roh, dan setiap kalimat dapat memikul beban kisah.
Lebih dari sekadar media untuk menonton atau mendengar, media sosial menawarkan dialog tanpa sekat, di mana guru dan murid berdansa dalam irama tanya-jawab yang berputar, terus membangun dan menghancurkan, lalu membangun kembali. Ambil contoh tugas resensi novel, yang tak lagi berhenti di ujung kertas lusuh, melainkan menjadi karya audiovisual yang menderu di feed Instagram. Murid-murid menghidupkan resensi mereka dengan memanggil visualisasi, musik latar, dan intonasi suara yang menggetarkan. Lalu, hadirkanlah kolom komentar—bukan sebagai lorong sunyi, melainkan ruang di mana kritik dan apresiasi menari liar, menelanjangi dan merias ulang pengetahuan.
Namun, di dunia di mana setiap orang bisa menjadi penulis, sutradara, bahkan narator hidupnya sendiri, muncul pertanyaan yang mendesak untuk dijawab: Apakah ini cukup? Apakah media sosial, yang sering kali dirusak oleh ego dan kepalsuan, dapat benar-benar menjadi ruang belajar yang murni? Di sinilah letak tantangan para pendidik dan pemikir zaman ini. Mereka harus menakar, menimbang, dan menghidupkan batas-batas yang memisahkan antara pengetahuan sejati dan keramaian yang hingar-bingar tanpa arah.
Media sosial memang penuh paradoks. Ia ibarat cermin retak yang menyimpan sejuta pantulan, kadang tajam, kadang memabukkan. Tetapi, bagi mereka yang tahu cara menatapnya dengan mata yang jernih, media sosial adalah kitab terbuka yang bisa dibaca dengan bijak. Maka, tugas kita bukan hanya memanfaatkan, tetapi memaknai setiap deru klik dan sentuhan layar sebagai bagian dari mantra baru pendidikan yang dinamis. Di sana, di antara gelombang komentar dan repost, pengetahuan terus mengalir—kadang pelan, kadang bergelombang. Dan di situlah media sosial menemukan takdirnya, sebagai guru yang tak pernah lelah, terus mengajar dalam bisikan dan teriakan.
Penulis : Fitri Indah Lestari
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Suryakancana Cianjur