Pemerintah Diminta Segera Melakukan Revitalisasi Kampung Adat Miduana

 Pemerintah Diminta Segera Melakukan Revitalisasi Kampung Adat Miduana

Salah satu bentuk rumah adat di Dusun Miduana yang masih terpelihara (Dokumen Muhammad Alwi, Miduana)




#INFOCIANJUR – Pemerintah diharapkan segera dapat melakukan revitalisasi Kampung Adat Miduana di Desa Balegede Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur Jawa Barat dalam waktu segera.  Hal tersebut dikarenakan keberadaan perkampuangan adat yang dihuni oleh 1.207 jiwa itu terancam kelestariannya karena minimnya perhatian dari berbagai pihak.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi terbatas “Revitalisasi Kampung Adat Miduana Naringgul, Sergera dan Perlu,” yang diselenggarakan Yayasan Kebudayaan Lokatmala Indonesia (Lokatmala Foundation) bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Cianjur di Gedung PWI Cianjur Jl. Siliwangi Cianjur, Rabu (29/12/2021).

Periset Kampung Adat Miduana, Wina Rezky Agustina, S.Sn, M.Sn

Ketua Lokatmala Foundation, Wina Resky Agustina, S.Sn, M. Sn, mengatakan pihaknya mengapresiasi Bupati  Cianjur H. Herman Suherman dan Pemkab Cianjur yang kini nampaknya akan melakukan upaya serius terhadap pelestarian kampung budaya di  Miduana tersebut. “Upaya ini patut diapresiasi sekecil apapun usaha yang telah dilakukan, semuanya  dalam rangka memperkokoh dan memperkuat kebudayaan bangsa yang lebih luas tentunya,” kata Wina dalam diskusi yang didampingi narasumber lain diantaranya, Tenaga Ahli Bupati Cianjur Bidang Hubungan Masyarakat, Saep Lukman, Pakar Seni Budaya dan Maestro Mamaos Cianjuran, DR. Yus Wiradiredja, S.Kar, M.Hum,  Budayawan Cianjur, Luki Muharam dan Ketua PWI Kab. Cianjur, Ahmad Fikri.

Terpisah Praktisi Seni dan Akademisi, DR.Yus Wiradiredja. S.Kar, M.Hum, mengungkapkan, Jawa barat secara geografis, di samping sebagai penyangga Ibu Kota negara., namun di balik itu Jawa Barat mempunyai posisi strategis dalam rangka  pertahanan kebudayaan Nasional. Beragam jenis kesenian tersebar di di 27 Kota dan Kabupaten termasuk  kampung adatnya. Begitu pula Kabupaten Cianjur sebagai salah satu daerah di  Jawa Barat menyimpan berbagai khasanah kekayaan seni dan budayanya. Salah satu kekayaan Cianjur yaitu Tiga Pilar Budaya yaitu  ngaos, mamaos, dan maenpo, sudah dijadikan jargon kebudayaannya, sehingga Pemda Cianjur sudah mempunyai payung hukum yakni Peraturan daerah Nomor 10 Tahun 2010, dan Peraturan Bupati (Perbup) terkait itu. Di samping masih banyak kekayan budaya Cianjur yang sampai saat ini masih terpendam salah satunya adalah kampung adat Miduana  yang berlokasi di Kecamatan Naringgul Cianjur Selatan.

Pakar Seni Budaya dan Maestro Mamaos Cianjuran, DR. Yus Wiradiredja, S.Kar, M.Hum (Foto : @infocianjur)

“Berdasarkan informasi dari tim survey sementara yang dipimpin oleh salah satu Tenaga Ahli Bupati Cianjur, Saep Lukman, telah ditemukan beberapa artepak budaya baik berupa budaya benda maupun budaya tak benda. Salah satu buda benda seperti situs batu rompe adalah sebagai bukti peninggalan budaya masa lampau. Kemudian, sebabagi kampung adat Miduana mempunyai sistim norma-norma yang sistemik, sebagai acuan kehidupan masyarakatnya, seperti, cara bertani, menjaga lingkungan, kalender, system kepercayaan, dan sebagainya. Di samping itu, beragamnnya jenis kesenian yang difungsikan baik untuk kepentingan upacara maupun hiburan. Selanjutnya, potensi alamnnya yang subur dikelilingi gunung-gunung, sawah terhamapar luas, serta sungai dan air terjun yang indah itu, dapat dimanfaatkan sebagai salah satu destinasi parawisata,” papar Yus.

Diskusi Terbatas Lokatmala Foundation PWI Cianjur : Revitalisasi Kampung Adat Miduana, Segera dan Perlu (Foto : @infocianjur)

Oleh karena itu, kata Yus, kampung adat Miduana sebagai salah satu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa ini, dapat dijadikan cermin dari sebuah peradaban masa lampau yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang substansi serta universal, selayaknya harus dijaga kelestariannya. Sebab kata Yus, dalam kehidupan modernitas seperti saat ini  nilai-nilai tersebut sudah mulai terkikis Jati Kasilih ku junti (Baca: Sunda) yang bermakna Manusia telah kehilangan jati dirinya.

“Dengan demikian, Miduana bak Mutiara terpendam di Cianjur selatan ini, selayaknya harus menjadi perhatian kita semua,baik dalam hal perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, maupun pembinaan. Hal tersebut sesuai dengan amanat UU N0, 5, tahun 2017 dalam hal pemajuan kebudayaan. Berhasil tidaknya implementasi UU tersebut di atas, dipastikan harus adanya komitmen kita semua, yang melibatkan berbagi stikholder untuk berpartisipasi secara bersama-sama,” sambung Yus yang juga Dosen Istitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung itu.

Kembali ke Wina, pihaknya telah melakukan riset kecil terkait Kampung Adat Miduana tersebut, pihaknya melihat ada beberapa permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan, diantaranya masih adanya kekosongan regulasi dalam pengubahan status kampung menjadi Kampung Adat.

Periset Kampung Adat Miduana, Wina Rezky Agustina, bersama warga (Foto : Riswandi @infocianjur)

“Selama ini, belum ada pengawasan memadai dari pemerintah pusat maupun provinsi juga pemerintah daerah Kab. Cianjur. Sehingga sangat mendesak adanya sebuah revitalisasi berkelanjutan dibidang infrastruktur dan fisik bangunan adat yang sekarang sebagian telah beralih fungsi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sebuah pelestarian Kampung Adat,” papar Wina.

Wina melihat dibutuhkan keterlibatan para akademisi dan praktisi Kampung Adat untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi dan revitalisasi guna mengatasi permasalahan-permasalahan penataan Kampung Adat Miduana sesuai dengan ketentuan dan kebijakan terkait dengan tata kelola kampung Adat. Bahkan kata dia, diperlukan juga keterlibatan para praktisi seni budaya yang berkolaborasi dengan komunitas adat yang ada di Miduana agar menghidupkan kembali sisa-sisa seni budaya tradisi yang sudah punah.

“Telah banyak studi budaya pada wilayah komunitas adat yang tersebar di Jawa Barat, di antaranya adalah inventarisasi komunitas adat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat yang telah mengumpulkan sebanyak delapan komunitas adat, yaitu: Kampung Urug, Kampung Ciptagelar, Kampung Adat Mahmud, Kampung Pulo, Kampung Naga, Kampung Kuta, Kampung Dukuh, dan Kampung Sinaresmi. Namun hasil inventarisasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat dapat dikatakan masih bersifat sementara karena dimungkinkan masih ada kampung adat yang luput dari inventarisasi tersebut. Salah satunya komunitas adat yang ada di Dusun Miduana Desa Balegede Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur, yang lebih dikenal di komunitasnya sendiri yaitu Kampung Adat Miduana,” jelas Wina.

Padahal, kata Wina, keberadaan Kampung Adat Miduana ini bagi Jawa Barat setidaknya dapat menjadi daya tarik tersendiri karena di lokasi tersebut juga terdapat berbagai peninggalan atau situs yang menarik dan perlu dilestarikan serta dirawat. Seperti Situs Batu Rompe yang diyakini warga sebagai sisa peninggalan ribuan tahun lampau berupa batu menhir yang sudah hancur berkeping  yang diduga akibat bencana. Tak jauh dari lokasi Batu Rompe terdapat Arca Cempa Larang Kabuyutan yang dipercaya warga setempat sebagai peninggalan kebudayaan Sunda dan berusia lebih dari 2.000 tahun.

“Di sana juga terdapat Kampung Kubang Bodas yang hingga kini masih memelihara adat istiadat kesundaan yang lebih kuat. Terdapat juga situs Goa Ustralia tau Goa Australia, namun untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut dibutuhkan persiapan dan perlengkapan perjalanan memadai karena medannya cukup menantang,” katanya.

Sementara itu Tenaga Ahli Bupati Bidang Hubungan Masyarakat, Saep Lukman, mengaku pihaknya sudah membuat laporan kepada Bupati dan Wakil Buoati terkait keberadaan dan potensi pariwisata berbasis budaya di Dusun Miduana tersebut. “Alhamdulillah Pak Bupati sangat mendukung upaya revitalisasi Kampung Adat Miduana tersebut baik dari sisi regulasi maupun sisi infrastruktur,” kata Saep.

Pantauan di lapangan kata Saep, kedusunan Miduana merupakan sebuah perkampungan yang masih berpegang teguh pada tradisi kesundaan yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Dusun tersebut terhampar dalam areal 1041 HA persegi, meliputi 11 rukun tetangga (RT) dan 4 rukun warga (RW) yang dihuni oleh 280 kepala keluarga (KK) terdiri dari 557 laki-laki dan 650 perempuan atau sekitar 1.207 jiwa. Seluruh mata pencaharian warga Dusun Miduana masih mengandalkan sektor pertanian dan masih kukuh menjalankan ‘tetekon’ atau aturan tradisi tata kelola pertanian yang dijalankan secara turun-temurun. Meskipun kini ada di antara penduduk yang selain bertani juga berusaha di sektor lain untuk meningkatkan kesejahteraanya seperti berdagang dan membuka usaha kecil lainnya.

Saep Lukman, Tenaga Ahli Bupati Cianjur (Foto : @infocianjur)

Desa Balegede sendiri sambung Saep, secara administratif merupakan salah satu dari 11 desa yang ada di Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur. Yakni Desa Margasari, Wanasari, Naringgul, Malati, Sukabakti, Cinerang, Sukamulya, Wangunsari, Mekarsari, Wangunjaya dan Desa Balegede. Memiliki luas 81,6 km persegi dengan jumlah kepadatan 20,5 jiwa per kilometer persegi. Dengan batas-batas, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung, sebelah barat dengan Kecamatan Cikadu, sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukabakti dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Wanasari. Terletak di sebelah selatan Cianjur dengan jarak tempuh ke ibu kota kabupaten mencapai 168 km, sedangkan jarak dari ibu kota Kabupaten Bandung hanya 20 km dengan ketinggian rata-rata 700 mdpl.

Jumlah penduduk Desa Balegede mencapai 6.035 orang, terdiri dari 2.999 penduduk laki-laki dan 3.036 penduduk perempuan atau sebanyak 2.083 KK (Dari data profil desa tahun 2021) Dimana 268 KK adalah kepala keluarga perempuan dan sisanya sebanyak 1.815 KK adalah kepala keluarga laki-laki. Penduduk Desa Balegede jika dilihat dari sisi kesejahteraan keluarga, 817 keluarga termasuk keluarga pra-sejahtera, 542 masuk katagori keluarga sejahtera 1, kemudian 342 keluarga masuk keluarga sejahtera 2 dan 113 masuk keluarga sejahtera 3 serta sisanya sebanyak 220 keluarga masuk level keluarga sejahtera 3 plus.

Sementara itu, kata Saep, Kecamatan Naringgul yang memiliki luas 24.377.639 Ha dengan batas sebelah utara Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung, sebelah timur dan selatan berbatasan dengan Kecamatan Cidaun dan sebelah barat dengan Kecamatan Cikadu itu memiliki beragam potensi wisata berbasis alam dan budaya. “Beberapa diantaranya seperti Air Terjun atau Curug Dendeng di Desa Wangunjaya, Gunung Pabeasan di Desa Malati, Curug Ceret di Desa Naringgul, Curug Marta di Desa Sukamulya, Situ Padli, Arca Cempa Larang Kabuyutan, Arum Jeram Cipandak, Rest Area Naringgul, Kampung Adat Miduana/Bumi Perkemahan Miduana dan Curug Perak di Desa Balegede, kemudian di Desa Mekar sari terdapat Curug Pancuran, Wisata Ofroader, Arung Jeram dan Kampung Adat Datar Kipait,” papar Saep.

Sejarah Miduana

Dalam laporan Lokatmala Foundation yang dipaparkan Wina Resky Agustina, keberadaan Dusun Miduana tidak terlepas dari kehadiran Desa Balegede itru sendiri. Dimana sejarahnya bermula ketika dua tokoh kembar pendiri Balegede yakni Eyang Jagat Nata dan Eyang Jagat Niti. Keduanya disebut-sebut merupakan keturunan dari Kerajaan Pajajaran yang mencari tempat pemukiman baru untuk menghindari kemelut yang terjadi di negara Kerajaan Sunda itu menjelang akhir keruntuhannya.

Jagat Nata dan Jagat Niti berhasil mendirikan perkampungan baru dan membuat tempat perjumpaan atau pasamoan dengan para koleganya dari berbagai tempat dalam sebuah rumah besar, namanya Balegede atau Bale Gede. Artinya tempat perjumpaan besar. Catatan lain menyebutnya Bale Ageung atau Bale Agung. Selanjutnya Eyang Jagat Niti atau dikenal sebagai Eyang Rangga Sadane memiliki anak bernama Eyang Jiwa Sadana yang kemudian membuka kampung atau dusun Miduana tak jauh dari lokasi Bale Ageung. Bagi warga Miduana Eyang Jiwa Sadana mendapat tempat spesial selain karena sebagai pembuka leuweung peteng atau hutan belantara yang kemudian menjadi tempat tinggal bersama rombongan Jiwa Sadana secara matuh atau menetap.

Situs Batu Rompe di Dusun Miduana Naringgul (Dokumen Muhammad Alwi)

“Berdasarkan catatan pemangku adat Kampung Adat Miduana, Abah Yayat, silsilah pemimpin di Miduana dimulai dari Batara Sayang yang menurunkan para raja di Tatar Sunda hingga Kesultanan Mataram. Sementara bagi sesepuh Miduana, sejarah mereka dimulai dari Eyang Entuk yang merupakan keturunan dari raja-raja Sunda yang kemudian memiliki anak keturunan ke bawah seperti Eyang Gendul Maya, Haliwungan, Eyang Rinaga, Eyang Dalem, Eyang Cetuk, Eyang Mega Wayang, Eyang Rongga Wayang, Eyang Bodas, Eyang Niti atau Eyang Jagat Niti, Eyang Jiwa Sadana, Eyang Mukram, Eyang Para Main atau Eyang Sura hingga Eyang Sukanta. Kini keturunan Eyang Sukanta menjadi kokolot di Kampung Adat Miduana,” jelas Wina.

Miduana sendiri, kata Saep, berasal dari kata Midua artinya terbagi dua. Hal ini berkaitan dengan keberadaan kampung atau dusun tersebut yang berada persis di antara dua sungai Cipandak. Yakni Cipandak hilir dan Cipandak girang yang kemudian bertemu menjadi sungai Cipandak yang dikenal dengan arus sungainya yang landai dan tidak curam. Kampung ini dibuka pertama kali dengan istilah Jogol Alas Roban yang dipimpin Eyang Jiwa Sadana. Saat pertama kali dibuka oleh Jiwa Sadana, Kampung Miduana hanya dihuni oleh sembilan kepala keluarga termasuk Jiwa Sadana. Mereka kemudian turun-temurun beranak cicit di sana hingga kini dengan tetap memegang pikukuh karuhun dengan segala peraturannya.

Ragam Budaya

Menurut Wina terdapat beberapa kegiatan kebudayaan atau tradisi-tradisi yang masih dipertahankan oleh komunitas adat di Dusun Miduana. Pertama, untuk memelihara ‘tataliparanti’ atau adat istiadat itu  mereka memiliki sesuatu yang hanya dihapal di luar kepala oleh para kokolot adat. Mereka menyebutnya Dongdonan Wali Salapan (Petunjuk Sembilan Wali). Kesembilan ‘dongdonan’ itu antara lain: Ciung Wanara, Lutung kasarung, Piit Putih, Heulang Rawing, Singa Batara, Batara Singa, Rambut Sadana, Sapu Jagat dan Balung Tunggal. Dugaan sementara Dongdonan Wali Salapan itu mengacu pada sembilan kepala keluarga atau umpi saat Dusun Miduana dibuka setelah peristiwa Jogol Alas Roban.

“Isi dari Dongdonan Wali Salapan itu antara lain meliputi petunjuk dan doa-doa buhun atau mantra saat mengurus lahan pertanian, memelihara ternak, pernikahan atau perjodohan, marak atau menangkap ikan di sungai, syukuran hingga pedoman beradaptasi dengan lingkungan baru. Bagi warga adat Miduana kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hendaknya harus seiring dengan pemeliharaan dan penghormatan terhadap alam dan lingkungan. Sehingga akan banyak ditemukan istilah pamali terhadap sesuatu yang dilarang dan berpotensi merusak alam dan lingkungan di sekitar wilayah tersebut,” papar Wina.

Kedua, kata Wina, secara turun-temurun di kawasan Kampung Adat Miduana selalu melaksanakan berbagai kegiatan adat. Meskipun pada bagian-bagian ritual tertentu kini sudah tidak dijalankan lagi. Beberapa lanjaran talali paranti karuhun seperti tatakrama untuk memulai atau mitembeyan tatanen sudah jarang dilakukan para generasi muda Miduana. “Terlebih bagi generasi Miduana yang berada di luar kedusunan tersebut karena alasan pekerjaan, perkawinan, sekolah atau hal lain, namun di Kampung Mandalajaya, Pojok, Pondok Waluh dan Kampung Kubang Bodas beberapa adat istiadat masih terpelihara,” jelas Wina.

Ketiga, di Miduana juga masih dilaksanakan kegiatan tradisi yang mereka sebut sebagai Mandi Kahuripan yang dilaksanakan pada bulan muharam dan berlangsung di Sungai Cipandak. Dipimpin kokolot adat seluruh warga berbondong-bondong dengan tertib sesuai kelompok ‘Dongdonan Wali Salapan’ yang ada di Miduana. “Penentuan waktu mandi kahuripan dilakukan oleh musyawarah kokolot adat. Biasanya Sesajen disiapkan dan rajah panyinglar dibacakan agar seluruh warga mendapatkan kebaikan, keberuntungan, dan keselamatan,” kata Wina.

Setelah prosesi adat dilaksanakan semua warga dengan riang gembira berenang di Sungai Cipandak. Warga dilarang membuang kotoran termasuk kencing di sungai selama kegiatan tersebut. Pada saat itu juga kokolot adat akan memerintahkan warga yang hadir untuk tidak membuang sampah atau rungga ke sungai. Sungai harus dijaga kebersihannya karena akan dimanfaatkan oleh warga lainnya di hilir. Mengotori sungai adalah sesuatu yang dilarang.

Selanjutnya, kegiatan trasdisi lainnya berlangsung pada setiap tanggal 14 bulan mulud. Semua tokoh adat dari sembilan kelompok kokolot adat hadir saling bertukar pikiran. Warga juga sebagian bisa hadir selama memungkinkan. Dulu acara Opatlasan Mulud dilaksanakan di Bumi Ageung tapi karena pergeseran waktu sering dilaksanakan di salah satu rumah pribadi kokolot adat secara bergiliran.

“Acara ini juga disebut sebagai Tabarukan dimana semua wejangan karuhun didiskusikan, termasuk membuka kembali mantra-mantra utama tatali paranti karuhun agar terus bisa dihafal. Kegiatan ini juga sering digabungkan dengan pengajian agar acara semakin sakral. Setelah itu seluruh yang hadir melaksanakan makan bersama yang disuguhkan warga secara sukarela dari masing-masing kampung yang ada di Dusun Miduana,” sebut Wina.

Kesenian Miduana

Disebutkan Wina, masyarakat Kampung Adat Miduana memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap kesenian. Disamping beberapa jenis kesenian yang dikenal di masyarakat Sunda lainnya, seperti wayang golek, calung, rengkong, reog, tarawangsa, pantun buhun dan lain-lain. Di Kampung Adat Miduana juga terdapat kesenian khas seperti Wayang Gejlig, Nayuban dan Lais.

“Wayang Gejlig adalah sejenis pertunjukan lakon pewayangan yang diperankan oleh beberapa orang warga dan diiringi gamelan secara lengkap. Kadang-kadang menggunakan kostum wayang yang menyerupai wayang golek, namun sering juga dalam beberapa pentas menggunakan pakaian bebas atau sekedar topeng wayang. Seiring perkembangan zaman kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan karena selain karena keterbatasan pemeran yang menguasai cerita wayang juga lemahnya pembinaan terhadap sanggar-sanggar kesenian di Miduana selama ini,” jelasnya.

Kesenian lain yang menjadi ciri khas Miduana adalah Nayuban atau mungkin ditempat lain disebut Tayuban. Kesenian ini berupa tarian yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan warga Miduana dengan diiringi gamelan dan lebih bersifat hiburan semata. Biasanya ditampilkan pada acara tertentu seperti saat pesta panen atau saat kegiatan hiburan menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi 17 Agustus.

Lais adalah sejenis kesenian ketangkasan yang diperankan oleh seorang pemuda yang telah mendapat pelatihan khusus, juga menjadi salah satu kesenian khas di Miduana . Kesenian ini diiringi gendang pencak biasanya dilakukan secara rampak. Selanjutnya pemeran Lais akan melakukan berbagai lompatan, jalan-jalan di atas tali yang diikat pada dua bambu gombong setinggi 15 bahkan 20 meter.

(Riswandi)

 

 

 




infocianjur

http://infocianjur.dev

dari Cianjur untuk Indonesia