Quo Vadis, Era Baru? (Belajar dari Wayang)
Malam itu, bulan sabit menggantung rendah di langit Hastinapura. Di bawahnya, tanah yang dulu subur kini terpecah-pecah menjadi retakan kering, seolah menjadi saksi bisu dari tiga belas tahun kekuasaan Kurawa yang penuh luka. Kekuasaan yang dibangun di atas kepalsuan dan dipertahankan dengan segala cara.
Tiga belas tahun yang panjang itu dicatat tidak hanya membawa penindasan, tetapi juga menyimpan dendam membara di hati rakyat. Akar dari dendam itu bukan hanya soal pajak tinggi atau keserakahan penguasa, melainkan sebuah peristiwa besar yang mengguncang Hastinapura.
Gempa besar yang terjadi lima tahun sebelumnya telah menghancurkan banyak desa, membunuh ribuan orang, dan membuat rakyat semakin terpuruk. Namun bagi mereka, bukan hanya bumi yang bergetar; kepercayaan mereka pada Duryodana dan kekuasaan Kurawa juga saat itu runtuh bersama rumah-rumah mereka.
Puluhan ribu rumah hancur berkeping menjadi puing-puing, jalan-jalan retak, dan saluran air terputus. Desa-desa terpencil menjadi lautan sampah infrastruktur yang hancur, sementara rakyat kehilangan tempat tinggal, sumber makanan, dan harapan. Dalam kekacauan itu, rakyat mengharapkan perlindungan dan solusi dari istana. Mereka menunggu bantuan untuk membangun kembali rumah mereka, lumbung padi mereka, dan kehidupan mereka. Ironisnya yang datang justru adalah pengkhianatan.
Duryodana, yang seharusnya memimpin upaya pemulihan, justru memanfaatkan bencana itu untuk memperkaya diri dan kroni-kroninya. Sebagian besar bantuan yang seharusnya sampai ke tangan rakyat lenyap di tengah jalan. Sebagian lagi malah digunakan untuk membangun istana baru para petinggi istana di pinggiran kota, lengkap dengan taman-taman megah, sementara rakyat tinggal di gubuk-gubuk dan tenda darurat. Pajak dan retribusi digenjot dengan alasan untuk membiayai “pembangunan kembali,” tetapi tidak ada pembangunan yang benar-benar terjadi.
Seperti yang dijelaskan oleh Jean-Paul Sartre dalam filsafat eksistensialismenya, kekuasaan tanpa tanggung jawab memang cenderung menciptakan absurditas. “Ketika pemimpin memperlakukan rakyat hanya sebagai alat, maka ia telah mencabut kemanusiaan mereka.” Kekuasaan Duryudana hanyalah penindasan tanpa arah yang akhirnya menelantarkan rakyat Hastinapura di tengah reruntuhan.
Dugaan penyalahgunaan penanganan bencana itu bukan hanya soal moral, tetapi juga soal struktur yang membusuk. Dalam bukunya Corruption and Development, Susan Rose-Ackerman menegaskan bahwa bencana sering kali menjadi “ladang basah” bagi elite korup untuk mengeksploitasi dana bantuan, karena urgensi situasi membuat pengawasan melemah. Hal ini pula yang terjadi di Hastinapura: bantuan gempa yang semestinya menyelamatkan justru menjadi ladang baru untuk memperkaya sebagian elite kerajaan.
“Kita kehilangan segalanya,” keluh seorang petani tua kepada tetangganya. “Tapi mereka masih bisa tertawa di istana.”
Padahal James C. Scott, dalam bukunya Weapons of the Weak, menjelaskan bahwa ketidakpuasan rakyat yang terus menumpuk tanpa saluran sering kali menciptakan bentuk-bentuk perlawanan kecil yang tak terlihat, dan suatu saat akan terakumulasi menjadi ledakan besar yang potensial. Di Hastinapura, rakyat mungkin tidak berani langsung melawan Kurawa, tetapi dendam itu terus hidup dalam bisikan dan doa mereka, menunggu kesempatan untuk meledak.
Duryodana, meskipun memegang kekuasaan, tidak pernah benar-benar mampu meraih hati rakyatnya. Gempa bumi itu menjadi momen yang memperjelas jurang antara istana dan desa-desa. Rakyat, yang awalnya hanya kecewa, kini mulai menabuh dendam mereka penuh riuh di media sosial tanpa disadari Kurawa yang tengah mabuk kekuasaan.
Paralel dengan Kekuasaan Kurawa
Multatuli, dalam Max Havelaar, menggambarkan bagaimana rakyat yang paling tertindas adalah mereka yang suaranya dibungkam oleh sistem yang korup. Saija dan Adinda, sepasang kekasih muda dari Lebak, Banten, adalah simbol dari rakyat kecil yang hidup di bawah beban penindasan para pejabat kolonial dan elite lokal yang berkuasa waktu itu. Multatuli dengan tajam mengecam para pejabat kolonial, termasuk Bupati Cianjur, kala itu yang digambarkan mengunjungi Lebak hanya untuk menikmati jamuan dan kemewahan di tengah penderitaan rakyat. Kedatangan mereka bukan untuk membangun, melainkan untuk memamerkan status sosial mereka. Bupati Cianjur, dalam perjalanan ke Lebak, tidak membawa bantuan atau solusi. Ia hanya membawa rombongan besar dengan kendaraan mewah, memperburuk penderitaan rakyat yang sudah tertekan oleh pajak dan kerja paksa. Ia adalah simbol dari penguasa yang lupa bahwa kekuasaan ada batasnya.
Di Hastinapura, selama tiga belas tahun kekuasaan Kurawa, nasib rakyat tidak jauh berbeda dari kisah Saija dan Adinda. Ladang-ladang kering, pajak tinggi, dan penindasan adalah pemandangan sehari-hari. Seperti para pejabat kolonial, Kurawa memanfaatkan kekuasaan mereka hanya untuk memperkaya diri dan menikmati kemewahan. Duryodana, sang pemimpin Kurawa, menganggap tahta Hastinapura sebagai hak pribadinya. Ia lupa bahwa seorang pemimpin sejati adalah pelayan rakyat, bukan penguasa atas mereka. Sikap ini tercermin dalam ucapan Multatuli, yang menggambarkan bagaimana para pembesar waktu itu lebih sibuk dengan status sosial dan kehormatan mereka dibandingkan tanggung jawab mereka terhadap rakyat.
Seperti Saija dan Adinda, rakyat Hastinapura dipaksa untuk terus berharap meskipun harapan itu hanya memberikan rasa sakit yang lebih dalam. Ketika ladang-ladang gagal panen karena kurangnya irigasi, ketika pajak yang tinggi memaksa mereka menjual harta terakhir mereka, dan ketika suara mereka dibungkam oleh kekuasaan, yang tersisa hanyalah bisikan lirih di antara reruntuhan desa-desa: “Mungkin suatu hari Pandawa akan kembali.”
Era Baru
Kini ketika Pandawa kembali ke Hastinapura, mereka tidak hanya membawa janji keadilan, tetapi juga membawa harapan bahwa luka-luka lama yang ditinggalkan oleh gempa dan pengkhianatan akan dapat disembuhkan. Rakyat menyambut mereka dengan sorak-sorai, melihat kedatangan mereka sebagai fajar baru setelah malam panjang nan gelap. Kini rakyat bertanya kemana engkau pergi (Quo Vadis), Era Baru?
Rakyat yang kini menaruh harapan besar pada kembalinya Pandawa, dijanjikan menyambut terang setelah begitu lama berada dalam kegelapan. Namun, harapan itu ibarat pedang bermata dua. Seperti kisah Saija dan Adinda dalam Max Havelaar karya Multatuli, harapan seringkali menjadi alat terakhir yang dimiliki rakyat untuk bertahan hidup di tengah penindasan. Tetapi, jika harapan itu dikhianati justru menyisakan kehancuran baru, kemarahan dan pemberontakan.
Namun, Yudistira tahu bahwa tugas mereka bukanlah tugas yang ringan. Ia tahu bahwa rakyat tidak hanya menginginkan janji-janji kosong, tetapi tindakan nyata. Dalam pertemuan pertamanya dengan para penasihat kerajaan, Yudistira menggarisbawahi bahwa pemerintahannya harus berfokus setidaknya pada dua hal: Pertama, rekonstruksi infrastruktur. Semua desa yang hancur akibat gempa harus dibangun kembali, termasuk jalan, saluran air, dan lumbung padi. Tidak ada lagi desa yang diabaikan atau dibiarkan terisolasi. Kedua, rekonstruksi kepercayaan. Rakyat telah kehilangan kepercayaan pada pemimpin mereka. Pandawa harus membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi dan memastikan bahwa setiap kebijakan berpihak pada rakyat, bukan pada elit.
“Kakanda,” kata Arjuna suatu malam, “rakyat telah cukup lama menderita. Mereka tidak membutuhkan kata-kata lagi. Mereka membutuhkan lumbung yang penuh, jalan yang mulus, dan pemimpin yang mendengarkan mereka.”
“Benar, Adinda,” jawab Yudistira. “Tapi lebih dari itu, mereka membutuhkan kepercayaan bahwa negeri ini adalah milik mereka, bukan hanya milik kita.”
Sebagai langkah awal, Yudistira mengeluarkan dekrit yang melarang semua pejabat kerajaan menggunakan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi. Tidak ada lagi pesta besar di istana, tidak ada lagi rumah mewah yang dibangun dengan pajak rakyat, dan tidak ada lagi fleksing para pejabat yang memamerkan status mereka.
Hal ini mencerminkan apa yang ditegaskan Francis Fukuyama dalam The Origins of Political Order, bahwa “legitimasi politik hanya dapat dicapai ketika pemimpin lebih peduli pada pelayanan publik daripada menjaga status dan kekuasaan mereka.”
Yudistira juga membentuk Dewan Kepercayaan Rakyat, sebuah badan yang terdiri dari perwakilan desa-desa untuk mengawasi penggunaan anggaran dan memastikan transparansi. Dewan ini menjadi simbol bahwa kekuasaan bukan lagi milik segelintir elite, tetapi milik rakyat.
Di bawah kepemimpinan Pandawa, Hastinapura perlahan-lahan mulai bangkit dari reruntuhan. Desa-desa yang sebelumnya hancur akibat gempa mulai dibangun kembali. Lumbung-lumbung padi kembali penuh, saluran air yang terputus mulai mengalir lagi, dan jalan-jalan yang retak mulai diperbaiki.
Namun, lebih dari itu, Yudistira tahu bahwa pembangunan fisik hanyalah awal. Untuk benar-benar membawa perubahan, ia harus memulihkan kepercayaan rakyat pada kekuasaan. Dengan setiap desa yang dibangun, dengan setiap keluhan yang didengar, dan dengan setiap kebijakan yang berpihak pada rakyat, luka-luka lama akibat gempa dan korupsi perlahan mulai sembuh.
Amartya Sen, dalam Development as Freedom, menegaskan bahwa pembangunan bukan hanya soal infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga soal kebebasan dan kesejahteraan manusia. Yudistira memahami ini. Ia tidak hanya ingin membangun jalan dan lumbung, tetapi juga kebahagiaan dan rasa aman bagi rakyatnya. “Era baru ini bukan hanya tentang membangun kembali negeri,” kata Yudistira kepada rakyatnya. “Era baru ini adalah tentang membangun harapan, keadilan, kolaborasi dan kehidupan yang lebih baik untuk semua.”
Penutup
Luka akibat gempa lima tahun lalu tidak akan pernah benar-benar hilang. Tetapi dengan setiap langkah kecil yang diambil oleh Pandawa, rakyat mulai melihat harapan. Mereka mulai percaya bahwa pemimpin mereka tidak lagi seperti Kurawa, yang hanya memperkaya diri sendiri.
Seperti dalam Max Havelaar, di mana Multatuli menyerukan perlunya pemerintahan yang adil dan berpihak pada rakyat, Yudistira ingin memastikan bahwa Hastinapura menjadi kerajaan yang berbeda. Tidak ada lagi fleksing pejabat, tidak ada lagi penindasan atas nama kekuasaan, dan tidak ada lagi rakyat yang harus hidup dalam ketakutan.
Hari-hari berlalu, dan Hastinapura mulai berubah. Ladang-ladang kembali hijau, lumbung-lumbung penuh, dan pasar-pasar ramai. Lebih dari itu, rakyat mulai tersenyum lagi. Namun, Yudistira tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Harapan rakyat adalah ujian yang berat, tetapi ia bertekad untuk tidak mengkhianati mereka.
Di bawah bulan sabit yang sama, Yudistira berdiri di balkon istana, memandang ke arah desa-desa yang kini mulai bersinar dalam kegelapan malam. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Tetapi ia juga tahu bahwa kali ini, roda kekuasaan akan berputar untuk membawa keadilan, pembangunan, dan kebahagiaan bagi semua rakyat Hastinapura. Selamat datang era baru!
Penulis: Saep Lukman, penulis lepas, pendiri INFOCIANJUR