Sebelum Hujan Membasahi

 Sebelum Hujan Membasahi



Hujan, fenomena alam yang begitu akrab di telinga kita, membawa makna yang melampaui sekadar tetesan air dari langit. Hujan mampu membangkitkan beragam emosi: bahagia, kecewa, atau bahkan sikap acuh tak acuh. Di balik sederhananya, hujan menyimpan pesona yang tak terelakkan, sering kali dikaitkan dengan romantisme yang mendalam.

Mengapa hujan begitu erat hubungannya dengan romantisme? Salah satu alasannya mungkin terletak pada kekuatan hujan dalam menyentuh jiwa. Karya-karya penyair legendaris seperti Sapardi Djoko Damono dalam Hujan Bulan Juni menegaskan bahwa hujan lebih dari sekadar peristiwa meteorologi; ia adalah simbol rasa, tempat perasaan bertemu dengan kenangan dan harapan.

Namun, dalam refleksi kali ini, saya tidak hendak menilik aspek-aspek sastra semata. Saya ingin mengajak Anda memahami bagaimana hujan bisa menjadi latar yang sempurna untuk menciptakan suasana syahdu. Bunyi gemericik yang ritmis menciptakan ketenangan, memurnikan pikiran yang kusut, dan menyelimuti hati dalam kehangatan nostalgia. Udara sejuk setelah hujan menenangkan tubuh yang lelah oleh rutinitas, dan kilatan petir menambah drama yang mengundang rasa waspada sekaligus terpesona.

Tak heran jika hujan kerap menjadi saksi momen-momen penting, termasuk pengakuan cinta remaja yang malu-malu di bawah rinainya. Hujan memiliki kekuatan magis untuk memperlambat ritme kehidupan, mendorong kita merenung tentang waktu yang telah berlalu, momen yang terjadi kini, dan apa yang mungkin menanti esok hari. Dalam keremangan itu, orang sering kali teringat akan kenangan indah, atau mungkin sebaliknya—penyesalan akan kata-kata yang tak sempat terucap, atau peluang yang telah hilang. Tetapi, seperti pepatah lama yang mengingatkan bahwa “nasi sudah menjadi bubur,” hujan memberi kita waktu untuk belajar, bukan tenggelam dalam sesal yang mengikat.

Hujan adalah simbol pemurnian. Setiap tetes yang jatuh seolah membersihkan permukaan bumi dari debu dan menghapus kegelisahan yang menumpuk dalam hati. Ada kepercayaan yang mengakar di masyarakat: jika hujan turun saat seseorang meninggal, itu dianggap sebagai tanda bahwa jiwanya tengah dimurnikan. Dan ketika hujan mereda, udara terasa lebih segar, langit lebih cerah, menyiratkan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Dalam asmara, hujan mengisyaratkan penyucian hati, memulai lembaran baru, dan merajut kembali kasih yang mungkin sempat retak. Di balik jendela, saat hujan memecah keheningan, percakapan menjadi lebih dalam, sentuhan terasa lebih hangat, dan momen menjadi lebih berharga.

Maka, mari kita belajar menikmati keindahan hujan. Bukan hanya sebagai fenomena alam, tetapi sebagai simbol kebersihan jiwa dan pemulihan diri. Sebelum hujan membasahi tanah, siapkan diri untuk membuka hati. Di sanalah kedamaian dan kebahagiaan sejati bisa ditemukan—di setiap tetes hujan yang jatuh, di setiap kenangan yang menari, dan di setiap harapan yang kembali bangkit.

Penulis: Wandi
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Suryakancana Cianjur, guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 5 Campaka.




infocianjur

http://infocianjur.dev

dari Cianjur untuk Indonesia