Feminis: Perjuangan yang Tak Pernah Usai
Ada satu bisikan lirih yang terus menggema di sudut-sudut ruang dan waktu: “Percuma sekolah tinggi, nanti ke dapur juga.” Di antara kilauan layar sentuh dan deru mesin-mesin modern, suara itu masih terdengar, seperti mantra kuno yang tak kunjung lapuk. Pertanyaannya sederhana namun menusuk, apakah kesetaraan itu masih harus diperjuangkan?
Dr. Mia Siscawati, dengan mata yang tajam menelusuri baris-baris data, melihat diskriminasi gender di bidang pendidikan sebagai cermin dari stereotipe purba: perempuan diciptakan untuk menjadi istri dan ibu, bukan pelajar atau pemimpin. Nurul, dengan nadanya yang pilu, berbicara tentang angka putus sekolah perempuan yang menari di grafik-grafik statistik, seperti ranting kering yang rapuh oleh pandangan kuno masyarakat. Ini bukan hanya soal angka; ini adalah soal mimpi yang ditinggalkan di perbatasan realitas, terselip di antara keraguan dan pengorbanan.
Di balik stereotipe yang memenjarakan, tersembunyi kisah-kisah yang tak terdengar. Pandangan bahwa pendidikan bagi perempuan adalah sia-sia, seperti nada minor yang tak pernah mencapai puncak melodi, merampas potensi yang seharusnya mekar. Padahal, perempuan yang berpendidikan bukan hanya mencetak masa depan bagi dirinya sendiri; ia adalah akar yang kuat, menahan pohon keluarga dari badai. Pendidikan menjadi bekal, bukan untuk menghapus kodratnya, tetapi untuk menghidupkan perannya sebagai pilar pengetahuan di tengah rumah dan masyarakat.
Fenimisme, kata yang dulu dianggap melawan arus, kini kembali hadir, bukan dengan pekikan dan amarah, melainkan dengan harapan yang tekun. Ia adalah gerakan yang menyalakan api, bukan untuk membakar, tetapi untuk menerangi jalan. Gerakan ini tidak sekadar berbicara tentang kesetaraan; ia merangkul perbedaan dengan pemahaman bahwa adil bukan berarti seragam, melainkan memberikan hak dan kesempatan sesuai dengan proporsinya.
Patriarki, sebuah sistem yang begitu akrab, seperti nafas yang tak disadari, mengalir dalam budaya. Di dalam sistem itu, keputusan-keputusan besar lebih sering dipegang oleh tangan laki-laki, meninggalkan perempuan dalam peran pendamping yang sunyi. Namun, apa yang terjadi ketika perempuan mulai menyuarakan pikirannya? Ada ketakutan, ada resistensi, seolah dunia yang lama dibangun dari batu patriarki takut terguncang oleh gemerisik langkah-langkah baru.
Isu ini bukan hanya tentang pendidikan; diskriminasi gender menyusup ke celah-celah hidup lainnya: di ruang persalinan yang seharusnya suci, dalam rapat-rapat yang memutuskan nasib komunitas, atau di rumah-rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman, tetapi malah menjadi ajang kekerasan. Ini adalah perjuangan yang menuntut lebih dari sekadar kata-kata; ia menuntut aksi dan perubahan cara pandang.
Namun, perubahan, seperti pohon yang tumbuh dari biji kecil, membutuhkan waktu dan perawatan. Pendidikan formal dan non-formal menjadi ladang untuk menanam benih kesadaran, kolaborasi antar gerakan sosial menjadi pupuknya, dan aksi protes adalah air yang menyiram harapan agar terus hidup. Masyarakat perlu belajar bahwa keadilan bukan berarti menyeragamkan, tetapi memberi ruang bagi perbedaan untuk diakui dan dihargai.
Dalam perbedaan itulah, keindahan terungkap. Laki-laki dan perempuan, meski berbeda dalam fisik dan cara berpikir, dipersatukan dalam kemanusiaan yang sama. Ketika perbedaan dihormati, dunia berhenti berperang dengan dirinya sendiri, dan mulai menyusun harmoni dari not-not yang berbeda, menghasilkan simfoni kehidupan yang tak pernah usai.
Perjuangan ini mungkin terasa tak pernah selesai. Seperti ombak di lautan, ia mundur untuk maju kembali, menghantam dan kembali mengalun. Tapi selama kita, sebagai manusia, masih berani berharap, mendengar, dan menggerakkan hati kita, kesetaraan itu bukan hanya mimpi. Ia adalah sebuah kemungkinan yang terus mendekat, satu langkah demi satu langkah.
Penulis : Rima Nur’aeni
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Suryakancana Cianjur