Cinta, Kopi & Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay (2)
Senja itu udara terasa segar, hujan baru dua hari lalu turun. Sekarang langit cerah. Kampung Nyalindung ibarat sekuntum bunga mekar. Tumbuh di atas bebukitan dengan ketinggian di atas 1100 DPL menyisakan kesejukan alami tersendiri. Sekeliling kampung penuh dengan pohon kopi, sebagian ada yang setinggi anak remaja sebagian lagi ada yang tumbuh menjulang hingga melampaui pohon harendong. Pohon kopi tumbuh sembarang bahkan hingga ke tempat pembuangan sampah kampung atau jarian.
Aku duduk di tepas, menunggu ibu yang sejak pagi pergi. Katanya mau menengok saudaranya di Kampung Sawah. Lamunanku menerawang, entah kemana.
Sesekali ayam masuk tepas rumah, menghardik lamunanku.
Di dapur untuk menyambut ibu sudah dari tadi disiapkan. Nasi dan lauknya sudah tersedia. Begitupun sayuran mentah kesukaan ibu sudah dipetik dari pagar di pinggir rumah panggungku yang sederhana.
Tiba-tiba aku ingat Abah, ayah yang tak pernah aku kenal wajahnya. Perih rasanya. Air mata tak terasa meleleh saat dari kejauhan terlihat Mang Lewa dan anak perempuan bungsunya, Binen, baru saja pulang dari kebun mereka yang tidak jauh dari Kampung Nyalindung.
Beberapa kambing dan anjing pemburu peliharaannya menguntil kadang di belakang kadang di depan. Nampak wajahnya bahagia, rautnya membuat aku iri. Sesekali anak dan ayah ini saling bercanda. Membuat aku semakin iri, mengapa semua kebahagiaan itu diberikan pada mereka, tidak padaku. “Jika aku seperti Binen, betapa bahagianya aku. Ada ayah yang selalu menjaga di saat suka dan duka. Ayah yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus terhadap anak perempuan seperti dirinya,” lamunanku mencabik-cabik dadaku yang sesak. (Bersambung)