Memaknai Merdeka Belajar bagi “Sang Pengajar”
Kebijakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuka cakrawala baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Tidak sekadar retorika kebijakan, gagasan ini mengusung semangat reformasi yang bertujuan untuk menggali potensi terbaik dalam diri guru dan murid, menciptakan iklim pembelajaran yang lebih otonom dan bermakna.
Menilik filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara, konsep merdeka belajar merujuk pada kebebasan peserta didik dari tekanan dan keterpaksaan. Namun, pemahaman ini tidak seharusnya berhenti pada peserta didik semata. Guru, sebagai pemandu dan penggerak proses belajar-mengajar, juga perlu memahami dan memaknai kebebasan ini dalam diri mereka sendiri. Sebab, bagaimana mungkin seorang pendidik dapat mendorong murid untuk belajar secara bebas dan kreatif jika ia sendiri terjebak dalam rutinitas yang kaku dan tak berkembang?
Menjadi pengajar berarti menjadi pembelajar sepanjang hayat. Tantangan untuk terus berkembang, baik secara formal maupun nonformal, adalah keniscayaan. Profesionalisme guru tidak hanya diukur dari gelar yang dicapai, tetapi juga dari kemampuan mereka untuk mengadaptasi diri, berinovasi, dan menghadirkan pembelajaran yang relevan dengan perkembangan zaman. Inilah esensi dari merdeka belajar bagi “Sang Pengajar”—sebuah panggilan untuk menggali potensi diri melalui pengembangan yang terus-menerus.
Kompetensi guru, sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 15 Tahun 2018, mencakup aspek pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Tugas yang diemban tidak sekadar mengajar, tetapi juga membimbing, melatih, dan mengevaluasi peserta didik. Dengan derasnya arus informasi dan perkembangan teknologi, guru dituntut untuk lebih dari sekadar “penyampai materi”; mereka harus mampu beradaptasi, berkreasi, dan berpikir kritis. Inilah sebabnya, merdeka belajar bagi “Sang Pengajar” perlu diterjemahkan sebagai upaya menggali dan mengasah kemampuan diri, termasuk dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pentingnya melanjutkan pendidikan ini sejalan dengan prinsip dalam agama Islam yang menekankan kewajiban menuntut ilmu sepanjang hayat. Nabi Muhammad SAW mengingatkan: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.” Pesan ini menegaskan bahwa belajar adalah kewajiban yang tak terbatasi oleh usia. Melanjutkan pendidikan bukan semata-mata demi gelar, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral dan profesional guru untuk menyempurnakan kualitas diri, demi pelayanan terbaik bagi peserta didik.
Namun, mengupayakan pendidikan lanjutan di tengah beban pekerjaan yang tak ringan sering kali memicu pandangan skeptis. Banyak yang mempertanyakan prioritas “Sang Pengajar” yang memilih menambah beban belajar di sela kesibukan mengajar. Tak sedikit yang memandang langkah ini dengan sinis, menilai upaya tersebut sebagai ambisi pribadi semata. Tetapi, bagi mereka yang memahami esensi kebebasan dalam merdeka belajar, usaha ini justru merupakan langkah berani untuk keluar dari zona nyaman, demi menuntaskan misi pengembangan diri yang hakiki.
Dukungan terhadap langkah guru yang ingin maju tidak hanya harus datang dari kebijakan pendidikan, tetapi juga dari masyarakat luas. Masyarakat perlu menyadari bahwa “Sang Pengajar” yang terus belajar adalah investasi bagi generasi penerus. Dengan kemampuan yang terus diperbarui, guru dapat menjalankan peran mereka dengan lebih percaya diri dan membawa perubahan yang berarti di ruang-ruang kelas.
Merdeka belajar, pada akhirnya, bukan hanya slogan untuk peserta didik. Ia adalah cermin kebebasan dari ketertinggalan, sebuah ajakan bagi “Sang Pengajar” untuk merdeka dari batas-batas yang mengekang. Sebelum menginspirasi para murid, guru harus terlebih dahulu merdeka dalam dirinya—berani mengeksplorasi, menggali, dan memperluas cakrawala pengetahuan. Sebab, hanya dengan guru yang terus berkembang, pendidikan yang sesungguhnya dapat terwujud.
Penulis : Popon Suryani
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Suryakancana Cianjur